Sejak kecil aku suka sekali ‘mengajarkan’
ilmu kepada orang lain (tapi aku bukan seorang guru dan bukan pula seorang
ustadzah). Bagiku, dengan membagikan ilmu yang kita ‘miliki’ adalah salah satu
cara murojaah ilmu kita, selain itu kita juga bisa belajar mengasah ketrampilan
berbicara dengan orang lain (public speaking), menjaga ilmu (supaya
tidak terlupa), dan masih banyak manfaat yang lainnya. Pertama kali ‘mengajar’
ketika aku duduk di kelas 4 atau 5 SD, atas permintaan tetangga untuk mengajari
putra-putri mereka. Salah satu manfaat yang paling aku rasakan adalah pada saat
ujian, aku tidak perlu sering mempelajari materi lagi karena hampir setiap hari
aku sudah membaca, mempelajarinya dan kemudian mengajarkannya kepada yang lain.
Inilah awal aku mulai menyukai dunia belajar mengajar, sampai akhirnya aku
diminta untuk mengajar secara privat kepada sebagian di antara mereka. Hingga
saat inipun, aku tetap ‘mengajar’. Aku sering diminta oleh teman-teman kantor
untuk ‘mengajari’ mereka tentang beberapa hal. Di samping itu, saat ini aku
juga menjadi seorang Musyrifah Bahasa Arab di Yayasan BISA, dunia yang tidak
jauh dari kegiatan belajar mengajar.
Belajar adalah salah satu aktivitas yang aku
sukai. Aku selalu mengejar segala sesuatu yang ingin aku pelajari. Bagiku,
belajar itu tak mengenal batasan usia serta batasan waktu dan tempat. Kita bisa
belajar kapanpun dan di manapun. Pada zaman yang serba canggih saat ini, belajar
bisa dilakukan di rumah melalui media online. Apalagi di masa pandemi seperti
saat ini, media online sangat berperan penting dalam kegiatan belajar mengajar.
Salah satunya adalah belajar bahasa Arab, banyak sekali pembelajaran bahasa
arab online, tinggal kita mau atau tidak untuk belajar.
Pada mulanya aku ingin belajar bahasa
Arab karena aku ingin bisa ‘mengajari’ putra bungsuku yang juga belajar bahasa
Arab di sekolahnya. Aku adalah seorang ibu yang juga sekaligus ingin menjadi
guru untuk anak-anakku ketika di rumah. Bagaimana aku bisa mengajari mereka
bahasa Arab sementara aku tidak bisa sama sekali. Dari sinilah aku mulai
mencari tempat belajar bahasa Arab.
Awal tahun 2015, aku menemukan tempat
belajar bahasa Arab online melalui facebook. BISA, Belajar Islam dan Bahasa
Arab, di sinilah pertama kali aku mengenal bahasa Arab. Aku masuk di angkatan
14. Qadarullah, di akhir proses belajar yang hanya tinggal selangkah lagi, aku
mengundurkan diri dengan alasan sibuk (atau sok sibuk kali ya, futur ini
namanya, tak patut dicontoh). Sebuah keputusan yang pada akhirnya aku sesali
dan membuat sedih jika mengingat itu saat ini.
Pada akhir tahun 2017, seiring aku mulai
mengenal Kajian Sunnah, Allah memberikan kemudahan kepadaku untuk bertemu
kembali dengan bahasa Arab, baik yang offline maupun yang online, maa
syaaAllah. BISA, aku bertemu dengannya kembali dan kali ini aku berada di angkatan
33, tepatnya kelas 33.34. Aku mengajak serta seorang teman dari kotaku, yang
maa syaaAllah beliau ini sangat bersemangat dan rajin sekali. Terkadang aku cemburu
dengan semangat dan rajinnya beliau. Setiap kali kami bertemu yang sering
dibahas adalah bahasa arab, senang tapi sedikit mumet sih.
Kali
ini tujuanku belajar bahasa arab bukan lagi hanya sekedar agar bisa mengajari
anak dalam belajar bahasa Arab. Sebagai seorang muslim, mempelajari bahasa Arab
sudah merupakan suatu keharusan, karena Al Qur’an diturunkan dengan berbahasa
Arab, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat Yusuf ayat 2 yang
artinya : “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dengan berbahasa
Arab, agar kamu memahaminya”, lalu surat Asy-Syu’ara ayat 195 yang artinya
: “dengan bahasa Arab yang jelas”, dan surat Az-Zumar ayat 28 yang
artinya : “(ialah) Al Qur’an dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan
(di dalamnya), supaya mereka bertakwa”. Jadi jelas sudah bahwa kita sebagai
seorang muslim haruslah mempelajari bahasa Arab untuk memahami Al-Qur’an (dan
hikmah-hikmah lainnya dalam hadits-hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam),
supaya kita bertakwa.
Akupun
berikhtiar, ingin istiqomah belajar ilmu agama, termasuk di dalamnya adalah belajar
bahasa Arab dan ingin bisa
‘mengajarkannya’ kepada yang lain. Maka mulailah aku mengejar impianku.
Menjadi thalibah di beberapa tempat adalah salah satu usahaku mengejar impian
itu, mulai dari BISA yang dibina oleh Ustadz Abu Razin atau Encang Irul,
kemudian Mulakhos yang dibimbing oleh Ustadz Abu Muhammad Al Mutarjim, lalu
Nadwa yang dibina oleh Ustadz Abu Kunaiza, dan beberapa program yang lainnya.
Namun tidak mudah bagiku dalam menjalaninya, banyak sekali hambatan yang aku
alami, futur adalah salah satunya, kemudian manajemen waktu yang amburadul karena
kesibukanku sebagai abdi negara, dan gadget yang beberapa kali mengalami
kerusakan. Ini seringkali aku alami. Tapi aku tetap maju terus.
Melawan nafsu diri sendiri itu adalah hal
yang tersulit bagiku. Apalagi aku adalah seorang yang mudah bosan. Beberapa
kali aku harus jungkir balik mengejar ketertinggalan tugas di beberapa program,
bahkan ada yang tidak terkejar sama sekali sehingga akupun harus drop out dari
program tersebut. Subhanallah. Hanya pertolongan dari Allah semata yang mampu
membuatku bertahan hingga saat ini dengan segala keterbatasanku. Sebuah nasihat
dari seorang ustadzah kepadaku, bahwa belajar bahasa arab itu harus sabar,
banyak memohon ampunan dan pertolongan dari Allah, hal ini juga yang membuatku
terus melangkah maju. Selain itu juga kehadiran teman-teman sesama pembelajar
bahasa Arab yang selalu memberiku dukungan dan semangat, kami membuat sebuah
grup kelompok pecinta bahasa arab (yang berawal dari Binreg 11), di sini kami
saling mendukung dan menguatkan satu sama lain sampai kami sama-sama belajar di
BINAR Aka 5. Imam Syafi'i rahimahullah berkata:
“Tidak mungkin menuntut ilmu orang
yang mudah bosan dan merasa puas jiwanya lantas ia berhasil meraih
keberuntungan. Akan tetapi seseorang yang menuntut ilmu dengan kerendahan jiwa,
kesempitan hidup dan berkhidmat untuk ilmu, maka dialah yang akan beruntung.”
(Tadribur Rawi 2/584)
Mengajar merupakan kegiatan yang tak terpisahkan dengan aktivitas belajar,
karena bagaimana kita bisa mengajar jika kita tak pernah belajar, bukan? Seperti
yang sudah aku jelaskan di atas, aku bertemu kembali dengan BISA dengan programnya
Belajar Ilmu Sharaf untuk Pemula di angkatan 33. Alhamdulillah, Allah
memberikan kemudahan kepadaku dalam
menuntut ilmu bahasa Arab kembali dan lulus dengan predikat mumtazaah, maa
syaaAllah tabarakallahu. Karena aku tidak ingin kehilangan ilmu yang aku
pelajari, aku pun berniat mengajukan diri untuk mengikuti bimbingan musyrifah dan
lulus menjadi musyrifah di BISA.
Tugas seorang musyrifah sebenarnya adalah membimbing thalibah baru.
Namun, dalam perjalanannya menjadi seorang musyrifah, ada saat-saat di mana
kita ‘harus mengajarkan’ ilmu yang telah kita dapatkan sebelumnya kepada para
thalibah. Maka, seorang musyrifah juga harus terus belajar, tidak boleh
berhenti. Mengasah diri meskipun harus melawan lupa. Iya melawan lupa, inilah aku.
Aku bisa mudah dan cepat menerima materi, qadarullah mudah pula lupa. Karena
itulah aku ingin terus belajar dan menjadi musyrifah sebagai muroja’ah selain
ingin bermanfaat untuk orang lain juga.
Pertama kali aku menjadi musyrifah adalah di BISA angkatan 35 dan
mengampu kelas 35.20 (ini adalah kelas paling berkesan selama perjalananku
menjadi musyrifah, insyaaAllah akan aku tuturkan nanti). Jujur saja, saat
pertama kali menjadi musyrifah, ilmu sharafku masih acak kadut, masih banyak yang
belum aku pahami dengan baik. Namun, alhamdulillah, aku mendapat partner yang
maa syaaAllah sangat aktif dan sangat cekatan, akupun terbawa dengan irama itu.
Dan alhamdulillah, selama aku menjadi musyrifah, aku selalu mendapat partner
yang rajin-rajin, cerdas dan cekatan. Mulai dari BISA aka 35, 36, 37, lalu
sempat berhenti karena menjadi musyrifah di BINREG Aka 12, kemudian kembali
lagi ke BISA aka 41, 42 dan 44, serta SHAUM 3 dan 4. Inilah mungkin salah satu
bentuk pertolongan dari Allah. Maa syaaAllah, laa hawla walaa quwwata illa
billah.
Demikian pula dengan muraqibah atau yang biasa kita sebut dengan
mq, di BISA pula aku bertemu dengan para mq yang sangat cekatan, cerdas,
menjunjung tinggi disiplin, tegas namun lembut hatinya, maa syaaAllah. Oh iya,
muroqibah itu adalah pengawas, yaitu yang mengawasi jalannya Kegiatan Belajar
Mengajar supaya tetap kondusif. Wallahu a’lam. Saat ini aku memang hanya
menjadi musyrifah di Yayasan BISA saja, tidak di tempat lain atau di program
yang lain. Hal itu semata-mata karena aku ingin fokus pada satu program saja, takut
tidak bisa mengatur waktu dengan baik dan tidak mampu memenuhi amanah dengan
baik.
Musyrifah idaman, ini adalah istilah teman-temanku yang tergabung
dalam kelompok/keluarga pecinta bahasa arab, julukan untuk seorang musyrifah yang
menjadi idaman para thalibah dengan kriteria musyrifah yang lembut, sabar,
telaten, intinya bukan musyrifah yang galak, hehehe. Mungkin istilah lainnya
musyrifah favorit kali ya. Aku? Aku memang bukan musyrifah yang galak...ehemm,
namun aku juga bukan seorang musyrifah idaman karena keterbatasan kemampuanku.
Aku sangat menyadari kemampuanku dalam memahami bahasa Arab yang bisa
dibilang agak tertinggal dibandingkan dengan teman-temanku yang lain.
Alhamdulillah ‘ala kulli haal. Namun, aku selalu ingat pesan seorang guru /
ustadzah / musyrifah / muraqibah bahasa Arabku baik yang online maupun yang
offline bahwa kita harus bersabar dan selalu memohon ampunan dan pertolongan
Allah. Karena siapa tahu kebebalan kita itu disebabkan oleh salah satunya
adalah dosa-dosa kita di masa lalu. Wallahu a’lam. Meski demikian, aku sangat
mencintai aktifitasku sebagai seorang musyrifah dan tentunya juga sangat
mencintai semua thalibah yang pernah kubimbing mulai dari awal menjadi
musyrifah hingga saat ini.
Aku bukan musyrifah idaman, bukan pula seorang musyrifah yang sangat
rajin. Dan maa syaaAllah selama aku menjadi musyrifah, aku sering mendapatkan
thalibah yang rajin-rajin dan cerdas-cerdas. Sebuah anugerah yang sangat indah,
ketika belajar aku dipertemukan dengan musyrifah yang rajin dan ketika menjadi
musyrifah, aku dipertemukan dengan thalibah yang rajin, padahal diri ini sangat
jauh dari kata rajin. Astaghfirullah. Sampai seorang muroqibah di mana aku sering
bergabung dalam kelompok beliau mengatakan, ini merupakan rizkiku dari Allah.
Maa syaaAllah.
Semua kelas yang pernah aku ikuti, baik sebagai thalibah maupun
musyrifah, khususnya di BISA adalah sangat berkesan bagiku. Bertemu dengan para
penuntut ilmu yang sangat semangat dan rajin dalam menuntut ilmu itu adalah
merupakan anugerah yang sangat indah. Semoga kelak aku bisa bertemu dengan
mereka dan berkumpul dengan mereka sampai ke Jannah-Nya. Aamiin. Dan selama
perjalananku menjadi musyrifah, salah satu kelas yang paling berkesan dan tak
terlupakan adalah BISA angkatan 35, yaitu kelas 35.20. Kelas ini adalah kelas
pertamaku menjadi seorang musyrifah dan sekaligus perekap nilai (petugas yang
merekap nilai thalibah). Paling berkesan karena cinta pertama kali ya...eeaaa.
Bukan, bukan itu.
Di kelas ini, aku mempunyai pengalaman yang luar biasa bersama
seorang thalibah. Thalibahnya menjadi juara? Qadarullah tidak. Sebut saja namanya
Fulanah (maaf, aku tidak menyebut nama karena belum meminta ijin beliau),
thalibah dari Yogyakarta. Seorang thalibah yang sangat rajin, mengumpulkan
wajibat selalu di awal waktu dan selalu mumtaaz. Qadarullah, saat beliau
mengikuti pembelajaran bahasa arab di BISA, beliau dalam kondisi hamil tua (tinggal
nunggu brojolnya aja), maa syaaAllah, dan ini adalah kehamilannya yang pertama.
Meski demikian, beliau sangat rajin dan tetap bersemangat. Setiap perkembangan
kondisi kehamilannya, beliau selalu menyampaikan apa yang dirasakannya kepadaku.
Sejak pekan ke-5, beliau sudah mulai mengalami kontraksi, hingga tibalah saat
Try Out, dan...beliau bersalin saat try out, maa syaaAllah. Jadi di antara
kontraksi dan proses persiapan persalinannya, beliau tetap mengerjakan Try Out
dengan dibantu suaminya. Kami, para musyrifah dan muraqibah saat itu ikut
deg-degan, padahal kami saling berjauhan. Tak henti-hentinya, kami mendo’akan
beliau, maa syaaAllah. Satu lagi yang membuatku terharu adalah, seringnya kami,
para penuntut ilmu yang semoga dalam perlindungan Allah, saling mendo’akan dan
saling peduli, ikut bahagia ketika ada yang bahagia, ikut merasa sedih ketika
ada yang mendapat musibah. Aku mencintai mereka (thalibah, teman musyrifah dan
muraqibahku) karena Allah. Maa syaaAllah.
Hal yang paling aku ingat saat itu adalah saat beliau mengatakan
kepadaku melalui chat di Whatsapp bahwa beliau tetap ingin mengerjakan Try Out
saat itu juga, beliau tidak ingin berhenti di tengah jalan, ingin menuntaskan saat
itu juga, karena kalau menundanya beliau takut tidak ada umur, maasyaaAllah, inilah
hal yang sangat membuatku tercambuk dan malu. Aku pernah berhenti belajar
bahasa arab tepat saat try out hanya karena alasan sibuk. CATATAN BESAR UNTUKKU.
Karena itulah setiap kali aku mengalami hambatan atau futur, aku selalu ingat peristiwa
ini. Hambatan apalagi futur yang aku alami tidaklah sebanding dengan apa yang
thalibahku alami saat itu. Maa syaaAllah baarakallahu fiihaa. Atau setiap ada
thalibahku yang lain yang ingin mengundurkan diri, aku akan menceritakan
peristiwa ini kepada mereka dan berharap mereka bisa mengambil ibrah dari
peristiwa ini.
Setelah menjadi musyrifah, apakah aku berhenti belajar? Tentu saja
tidak. Aku tetap melanjutkan impianku, belajar ilmu agama, karena ini adalah
kewajibanku sebagai seorang muslim.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ
مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.”
(Hadit
shahih, Riwayat Al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul iman, lihat shahiihul jaami’
no. 3913) – dikutip dari buku Cara Sistematis Menghafal Hadits (Program JODOH).
Setelah belajar sharaf di BISA Aka 33, kemudian menjadi musyrifah
BISA di Aka 35, 36 dan 37. Sembari menjadi musyrifah, akupun melanjutkan
belajar sharaf di SHAUM Aka 2 (salah satu program premium dari Yayasan BISA)
dan alhamdulillah tidak lama kemudian belajar nahwu di Binreg Aka 11. Lalu
setelah lulus Binreg, aku memutuskan menjadi musyrifah Binreg di Aka 12.
Kemudian belajar nahwu lagi di BINUM Aka 8, ini juga program premium atau
berbayar.
Hampir semua proses belajarku di BISA, aku iringi dengan menjadi
musyrifah, kecuali di BINAR, ketika menjadi thalibah di BINAR Aka 5 (saat aku
menulis ini, aku sedang mengerjakan Tugas Individu yang terakhir, insyaaAllah
kami akan segera menyusun e-book sebagai Tugas Akhir), aku mengurangi frekuensi
aktifitas kemusyrifahanku, karena selain kesibukanku sebagai abdi negara dan jadwal
BINAR yang sangat padat -di mana kami mengerjakan tugas kelompok dan tugas
individu setiap pekannya- aku juga mempunyai tanggung jawab yang tidak mudah bagiku,
yaitu menjadi Korlas sekaligus menjadi Editor TUKEL (tugas kelompok). Tidak
mudah karena ini seperti memikul nasib seluruh anggota di kelas kami.
Di pekan-pekan awal, setiap kali mengerjakan tugas sebagai Editor,
pikiranku pun tidak bisa lepas dari beban itu, takut kena DO sekelas. Hingga
akhirnya aku pun jatuh sakit saat menyelesaikan TUKEL di salah satu pekan, qadarullah,
asam lambungku naik lumayan parah saat itu, hingga aku rasakan panas hingga ke
tenggorokan dan sesak nafas. Jadi aku mengerjakan tugas, kuselingi dengan
berbaring ketika sesak nafas, dan aku lanjutkan lagi ketika sudah agak enakan.
Begitu pula saat mengerjakan TUIN, aku selalu bertekad untuk menyelesaikannya,
karena aku tidak ingin kena DO di BINAR, kalau bukan sekarang, aku takut tidak
ada umur kalau menundanya. Alhamdulillah, lagi-lagi Allah mempertemukanku
dengan teman-teman thalibah dan para musyrifah yang maa syaaAllah begitu saling
mendukung, rajin dan bersemangat. Sehingga di pekan-pekan berikutnya, aku sudah
merasa sedikit tenang dan menjadi ringan langkahku.
Selama belajar di BINAR, aku juga menjadi musyrifah di SHAUM Aka 4
dan BISA Aka 44. Selain itu juga, aku masih belajar bahasa arab dan ilmu agama
lain di program lainnya. Beberapa kali aku menolak untuk menjadi musyrifah,
karena takut tidak bisa amanah. Selama aku mengikuti BINAR, tugas kemusyrifahanku
sedikit terhambat dan aku merasa bersalah kepada para thalibahku, semoga Allah
mengampuni kesalahan-kesalahanku ini. Dan qadarullah, gadgetkupun bermasalah
saat itu. Tapi, aku tidak mau menyerah begitu saja, karena aku yakin Allah
pasti menolong hambanya yang terus berusaha, dan tidak mudah menyerah. Meski aku
bukanlah musyifah idaman.
Alhamdulillah, di usiaku yang berkepala empat ini, Allah memberikan
kemudahan kepadaku untuk belajar bahasa arab, bahasa yang mulia ini, dan
memberiku kesempatan untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain dengan
menjadi musyrifah. Usia bukanlah menjadi penghalang dalam menuntut ilmu. Jangan
pernah berhenti belajar, meskipun sudah menjadi musyrifah / pengajar. Sampai
umur kita habis pun, niscaya ilmu tersebut belum mampu kita pelajari semuanya.
Sebenarnya masih banyak pengalamanku sebagai musyrifah yang ingin
aku tuliskan, insyaaAllah akan aku tulis di lain kesempatan. Semoga Allah
mudahkan. Dan semoga yang sedikit ini akan bermanfaat untuk dijadikan pelajaran
bagi siapa saja yang membacanya.
Mojokerto, 27 Februari 2021
❋❋❋❋